Pages

Rabu, 27 Mei 2015

Mahasiswa Teknik Informatika Untan Menjunjung Tinggi Kejujuran

Rencana Menteri Nasir Hapus Skripsi


                              670409_09020519012015_M_Nasir

Ganti menteri, ganti kebijakan. Itulah yang terjadi di Indonesia. Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Ristekdikti) sedang merancang kebijakan baru yang menghapus kewajiban penulisan skripsi sebagai syarat kelulusan program sarjana (S1). Motivasinya untuk menekan potensi kecurangan penyusunan tugas akhir itu. Rencana skripsi bukan kewajiban lagi itu, disampaikan langsung Menristekdikti Muhammad Nasir di rumah dinasnya komplek Widya Candra, Jakarta, tadi malam. Menurut mantan Rektor Universitas Diponegoro (Undip) itu, penulisan skripsi sedang dikaji menjadi syarat opsional saja untuk lulus sarjana. “Sebagai gantinya nanti mahasiswa akan diberikan pilihan-pilihan,” ujar Nasir.
Opsi untuk lulus selain menyusun skripsi adalah, mengerjakan pengabdian ke masyarakat atau laporan penelitian di laboratorium. Sejak masih aktif di kampus dulu, Nasir sudah paham dengan kenakalan mahasiswa dalam bentuk membeli skripsi. Atau membayar jasa penyusunan skripsi. Nasir mengakui bisa mendeteksi apakah skripsi yang sedang dia uji itu dibuat sendiri atau hasil buatan orang lain. “Saya tanya sebelum ujian. Skripsi ini beli atau buat sendiri. Kalau tidak mengaku saya putuskan tidak lulus,” ujarnya.
Tetapi jika mahasiswa itu mengakui skripsinya hasil beli, maka diberi kesempatan untuk membuat skripsi dengan jujur satu kali lagi. Praktik jasa pembuatan skripsi ini dimulai dari aturan lulus S1 wajib menyusun skripsi. Kemudian ada mahasiswa yang malas atau kesulitan menyusun skripsi. Lalu kondisi ini dibaca oleh pihak-pihak yang ingin merengkuh keuntungan. Yakni dengan membuka jasa pembuatan skripsi. “Selama ada demand (permintaan, red) dari mahasiswa yang malas, supply (penawaran, red) jasa pembuatan skripsi akan terus ada,” ujarnya.
Nah untuk memotong mata rantai itu, muncul rencana kebijakan syarat lulus tidak musti menyusun skripsi. Diharapkan mahasiswa yang lebih jago penelitian laboratorium, tidak merasa dipaksa untuk menyusun skripsi. Begitu pula mahasiswa yang cenderung memilih pengabdian masyarakat, tidak perlu harus menyusun skripsi.
Apalagi proses kuliah selama ini terkait dengan Tridharma Perguruan Tinggi. Yang terdiri dari pembelajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
Nasir juga menyinggung tentang keberadaan ijazah palsu. Dia menuturkan sepekan ke depan Kemenristekdikti akan mengklasifikasikan perguruan tinggi berstatus non aktif atau aktif. Sehingga masyarakat tidak salah pilih. Selain itu Nasir juga mengatakan akan membentuk satuan tugas penanganan ijazah palsu.
Kalangan kampus negeri dan swasta berbeda sikap dalam merespon kebijakan ini. Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Edy Suandi Hamid menuturkan, dia setuju dengan gagasan yang disampaikan Menristekdikti Muhammad Nasir itu. Sebagai gantinya mahasiswa diberi pilihan atau opsi selain menyusun skripsi. “Contohnya menyusun laporan spesifik dari tugas lapangan atau pengabdian masyarakat,” kata dia, kemarin.
Selain itu, mahasiswa juga bisa menyusun laporan hasil penelitian laboratorium, khususnya bagi mahasiswa di program atau bidang eksak. Namun sebelum menerapkan aturan skripsi tidak wajib lagi itu, Edy berharap Kemenristekdikti merevisi aturan yang berlaku. Saat ini masih berlaku aturan bahwa mahasiswa wajib mempublikasikan skripsinya menjadi karya ilmiah ringkas di jurnal ilmiah kampus. “Kebijakan kewajiban publikasi ini saya tentang. Kebijakan ini bikin heboh,” tandasnya.
Edy mengatakan dia susah mencari rujukan kebijakan di negara-negara lain, bahwa mahasiswa S1 wajib publikasi di jurnal ilmiah. Dia bahkan mengatakan di sejumlah negara di Eropa, mahasiswa sarjana dan pasca sarjana sudah tidak wajib lagi menyusun skripsi atau tesis.
Mantan Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Jogjakarta itu berharap rencana fenomenal tidak mewajibkan menyusun skripsi ini segera dikaji lebih lanjut untuk diterapkan.
Ketua Umum Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri Indonesia (MRPTNI), Herry Suhardiyanto, mengaku belum mendapatkan informasi detail tentang rencana Menristekdikti tadi. “Tapi kalau memang akan diubah (kewajiban menyusun skripsi, red) harus didahului kajian mendalam,” katanya.
Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) itu menjelaskan, perlu dikaji akar masalah sehingga skripsi tidak lagi menjadi syarat lulus program sarjana. Jika penyebabnya dipicu maraknya praktek jasa penulisan skripsi, masalah ini yang perlu dihentikan bersama-sama.
Herry menuturkan program sarjana itu adalah jenis pendidikan akademik. Sehingga selama ini mahasiswa yang akan lulus, wajib menyusun skripsi. Jangan sampai ketika skripsi tidak wajib lagi, program sarjana malah seperti program vokasi (politeknik).
Dia mengatakan untuk mengatasi masalah jual-beli atau jasa penulisan skripsi, atau bahkan penjiplakan skripsi, bisa dilakukan dengan penyesuaian ketentuan penulisan skripsi. Misalnya dengan pemanfaatan atau optimalisasi teknologi informasi. “Dengan database skripsi yang kuat, bisa mudah mendeteksi duplikasi skripsi,” jelasnya

0 komentar:

Posting Komentar